Islami bagi saya adalah sebuah situasi dan kondisi suatu proses yang didasari oleh tujuan untuk menuju jalan Allah. Artinya, segala kegiatan yang dilakukan itu selalu diwarnai oleh nilai-nilai keislaman. Dengan demikian, bagi umat Islam nilai yang harus mengarahkan seluruh aktivitasnya, lahir dan batin, dan yang kepadanya bermuara seluruh gerak langkah dan detak jantung adalah keesaan Allah (tauhid). Tentang keesan Allah ini kita simak berikut ini.
“Keesaan Tuhan bukanlah satu konsep di tengah-tengah berbagai konsep, akan tetapi ia merupakan suatu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aksi manusia....”
Hal di atas menurut Quraish Shihab2 berarti bahwa keesaan berisi satu inti di pusatnya, dan sejumlah orbit unisentris di sekelilingnya. Pada orbit-orbit itulah prinsip keesaan mengejawantahkan diri dalam tingkat yang berbeda-beda. Dengan demikian, dari keesaan Tuhan, dan kepada keesaan-Nya, memancar kesatuan-kesatuan lainnya, seperti kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu dalam berbagai disiplin dengan amal, kesatuan sosial budaya dan praktik-praktiknya, dll.
Puisi jika ditinjau menurut pemikiran Shihab berarti merupakan bagian dari orbit untuk menuju inti, ketauhidan Allah. Sebagai salah satu bagian dari orbit itu, sesungguhnya puisi mempunyai kedudukan cukup istimewa dalam pemikiran Islam. Dalam bagian ini saya akan merumuskan pemikiran Ali Ahmad Said (Adonis), salah satu dari sepuluh penyair Arab yang lahir setelah Perang Duni II yang terdapat dalam buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab—Islam, pada subbab “Kemapanan dalam Kritik dan Puisi”. Pemikiranya secara khusus membahas puisi dan kedudukannya dalam masyarakat. Selanjutnya, hal ini akan saya gunakan sebagai kerangka untuk melihat atau menganalisis seni budaya secara umum. Dalam Alquran, sebutan penyair dinyatakan secara bersama-sama dengan beberapa sebutan seperti orang gila, penyihir, dukun, dan juga dengan sebutan setan. Menurut Adonis, sebutan yang bersamaan itu berarti bahwa puisi tidak membawa kebenaran. Penyebutan yang bersamaan itu sebenarnya mempunyai makna yang berbeda. Pedukunan dan sihir mempunyai porsi khusus dalam Alquran. Diantara penyair ada yang beriman, beramal kebajikan dan banyak mengingat Allah. Oleh karena itu, diantara puisi ada yang berbicara mengenai keimanan dan mengingat Allah. Fungsi baru dari puisi yang disinggung Alquran ini dijelaskan oleh nabi dan diperkuat dalam sunnah, ucapan dan tindakannya. Beliau mengatakan, sebagaimana yang diriwayatkan, “Puisi tidak lain hanyalah suatu ujaran yang diciptakan. Oleh karena itu, puisi yang sejalan dengan kebenaran adalah baik, dan yang tidak sejalan dengan kebenaran tidak mengandung kebaikan.” Sabdanya yang lain, “Puisi pada dasarnya hanyalah ujaran. Diantara ujaran itu ada yang jelek dan ada yang baik.”
Dalam riwayat lain, meskipun banyak kritikus menganggap lemah, beliau mengatakan bahwa Imri al-Qais adalah pemimpin penyair yang menuju ke neraka. Dalam hal ini, Ibn Qutaibah menyatakan tentang Imri al-Qais bahwa dia melakukan tindakan porno dalam puisinya. Semua ini menunjukkan bahwa nabi melihat puisi sebagaimana beliau melihat ujaran. Beliau menilai baik terhadap ujaran yang baik dan menilai jelek terhadap ujaran yang jelek. Yang baik adalah selama puisi tersebut dipergunakan untuk ‘memuji’ Allah dan agama, serta ‘mengejek’ musuh-musuh Allah dan agama. Dengan demikian, puisi adalah sarana ideologis: dipakai untuk membela dan memberitakan kabar gembira (memuji), atau mengkritik dan menyerang (hija). Hal ini menunjukkan bahwa nabi memandang puisi memiliki pengaruh dan efektivitasnya. Dari sini, kita dapat memahami sikap beliau yang memuji puisi yang mengadopsi nilai-nilai Islam dan yang mempertahankan nilai nilai tersebut, dan mencerca puisi yang menyimpang dari nilai-nilai tersebut, serta melarang untuk meriwayatkan puisi senacam itu.
Selain menguraikan tentang penilaian nabi terhadap puisi, Adonis juga menguraikan penilaian puisi yang dilakukan para sahabat nabi. Tentang Umar misalnya, beliau dikatakan sebagai orang yang paling pandai pada zamannya dalam mengkritik puisi, dan paling mengetahui puisi. Umar tidak hanya memberikan pujian terhadap puisi yang memberikan inspirasi terhadap ahlak-ahlak Islam, tetapi juga memberikan hukuman kepada siapa saja yang menyimpang dari ahlak tersebut. Ali menyatakan bahwa puisimerupakan ilmu yang valid. Akan tetapi, puisi yang dimaksudkan adalah jenis puisi yang diberi orientasi dan dipuji nabi, Abu Bakar, dan Umar.
Uraian di atas dapat disimpulkan:
“Keesaan Tuhan bukanlah satu konsep di tengah-tengah berbagai konsep, akan tetapi ia merupakan suatu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aksi manusia....”
Hal di atas menurut Quraish Shihab2 berarti bahwa keesaan berisi satu inti di pusatnya, dan sejumlah orbit unisentris di sekelilingnya. Pada orbit-orbit itulah prinsip keesaan mengejawantahkan diri dalam tingkat yang berbeda-beda. Dengan demikian, dari keesaan Tuhan, dan kepada keesaan-Nya, memancar kesatuan-kesatuan lainnya, seperti kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu dalam berbagai disiplin dengan amal, kesatuan sosial budaya dan praktik-praktiknya, dll.
Puisi jika ditinjau menurut pemikiran Shihab berarti merupakan bagian dari orbit untuk menuju inti, ketauhidan Allah. Sebagai salah satu bagian dari orbit itu, sesungguhnya puisi mempunyai kedudukan cukup istimewa dalam pemikiran Islam. Dalam bagian ini saya akan merumuskan pemikiran Ali Ahmad Said (Adonis), salah satu dari sepuluh penyair Arab yang lahir setelah Perang Duni II yang terdapat dalam buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab—Islam, pada subbab “Kemapanan dalam Kritik dan Puisi”. Pemikiranya secara khusus membahas puisi dan kedudukannya dalam masyarakat. Selanjutnya, hal ini akan saya gunakan sebagai kerangka untuk melihat atau menganalisis seni budaya secara umum. Dalam Alquran, sebutan penyair dinyatakan secara bersama-sama dengan beberapa sebutan seperti orang gila, penyihir, dukun, dan juga dengan sebutan setan. Menurut Adonis, sebutan yang bersamaan itu berarti bahwa puisi tidak membawa kebenaran. Penyebutan yang bersamaan itu sebenarnya mempunyai makna yang berbeda. Pedukunan dan sihir mempunyai porsi khusus dalam Alquran. Diantara penyair ada yang beriman, beramal kebajikan dan banyak mengingat Allah. Oleh karena itu, diantara puisi ada yang berbicara mengenai keimanan dan mengingat Allah. Fungsi baru dari puisi yang disinggung Alquran ini dijelaskan oleh nabi dan diperkuat dalam sunnah, ucapan dan tindakannya. Beliau mengatakan, sebagaimana yang diriwayatkan, “Puisi tidak lain hanyalah suatu ujaran yang diciptakan. Oleh karena itu, puisi yang sejalan dengan kebenaran adalah baik, dan yang tidak sejalan dengan kebenaran tidak mengandung kebaikan.” Sabdanya yang lain, “Puisi pada dasarnya hanyalah ujaran. Diantara ujaran itu ada yang jelek dan ada yang baik.”
Dalam riwayat lain, meskipun banyak kritikus menganggap lemah, beliau mengatakan bahwa Imri al-Qais adalah pemimpin penyair yang menuju ke neraka. Dalam hal ini, Ibn Qutaibah menyatakan tentang Imri al-Qais bahwa dia melakukan tindakan porno dalam puisinya. Semua ini menunjukkan bahwa nabi melihat puisi sebagaimana beliau melihat ujaran. Beliau menilai baik terhadap ujaran yang baik dan menilai jelek terhadap ujaran yang jelek. Yang baik adalah selama puisi tersebut dipergunakan untuk ‘memuji’ Allah dan agama, serta ‘mengejek’ musuh-musuh Allah dan agama. Dengan demikian, puisi adalah sarana ideologis: dipakai untuk membela dan memberitakan kabar gembira (memuji), atau mengkritik dan menyerang (hija). Hal ini menunjukkan bahwa nabi memandang puisi memiliki pengaruh dan efektivitasnya. Dari sini, kita dapat memahami sikap beliau yang memuji puisi yang mengadopsi nilai-nilai Islam dan yang mempertahankan nilai nilai tersebut, dan mencerca puisi yang menyimpang dari nilai-nilai tersebut, serta melarang untuk meriwayatkan puisi senacam itu.
Selain menguraikan tentang penilaian nabi terhadap puisi, Adonis juga menguraikan penilaian puisi yang dilakukan para sahabat nabi. Tentang Umar misalnya, beliau dikatakan sebagai orang yang paling pandai pada zamannya dalam mengkritik puisi, dan paling mengetahui puisi. Umar tidak hanya memberikan pujian terhadap puisi yang memberikan inspirasi terhadap ahlak-ahlak Islam, tetapi juga memberikan hukuman kepada siapa saja yang menyimpang dari ahlak tersebut. Ali menyatakan bahwa puisimerupakan ilmu yang valid. Akan tetapi, puisi yang dimaksudkan adalah jenis puisi yang diberi orientasi dan dipuji nabi, Abu Bakar, dan Umar.
Uraian di atas dapat disimpulkan:
*Pertama, Islam mengakui puisi dengan syarat puisi menjadi sarana mengabdi kepada agama dan menjadi sistem yang mendukungnya.
*Kedua, muatan yang diakui oleh Islam dan diperjuangkan untuk diekspresikan terlukiskan pada kebenaran-kebenaran yang sudah jelas, yang telah diwahyukan dan disampaikan.
*Kedua, muatan yang diakui oleh Islam dan diperjuangkan untuk diekspresikan terlukiskan pada kebenaran-kebenaran yang sudah jelas, yang telah diwahyukan dan disampaikan.
*Ketiga, kejelasan, kemapanan dan kesempurnaan muatan (isi, makna) menyebabkan tidak adanya pembedaan secara tepat dan cermat antara efektivitas ilmiah di satu sisi dengan efektifitas puitik, dan artistik secara umum di sisi lain.
*Keempat, pada tataran ekpresi, adalah bahwa fungsi ujaran puitis hanya terbatas menunjukkan fakta-fakta yang jelas.
*Kelima, puisi menjadi sumber pengetahuan selain Alquran yang utama.
*Keenam, kritikus adalah yang menguasai dasar bahasa dan agama.
Dari uraian di atas kiranya cukup jelas seperti apa puisi yang dikehendaki oleh Islam. Dan hal ini menurut saya bisa dijadikan kerangka untuk memandang seni-seni lainnya. Misalnya film, drama, novel, musik, lukisan, juga karya-karya fotografi. Persolannya adalah bahwa karya seni atau budaya sangat kompleks. Banyak genre atau aliran-aliran yang melingkupi seni budaya tersebut. Hal ini setidaknya menimbulkan berbagai penafsiran. Dan tidak setiap kita mampu untuk melakukan penafsiran itu. Di sini diperlukan pengetahuan yang luas dan kecerdasan untuk mengungkap makna yang ada di balik karya itu. Karya bisa menjadi bermakna ketika bersentuhan dengan penikmatnya, tanpa itu karya dianggap tidak ada. Ada karya yang bisa ditafsirkan tidak dengan susah payah, dan sebaliknya ada karya yang rumit untuk ditafsirkan. Ada karya ada yang secara tegar berdiri dan menunjukkan jatidirinya dan ada karya yang baru bermakna jika ditafsir dengan kerja keras. Karena itu, sering terjadi perdebatan bahkan percekcokan yang diakibatkan oleh tafsir atau persepsi yang berbeda. Jadi, persoalannya adalah kita harus tahu teori-teori yang berhubungan dengan itu. Meski demikian pengetahuan ini pun tidak menjamin sepenuhnya untuk bisa lebih mudah dan mempunyai keseragaman dalam
menafsirkan. Sekarang mari kita gunakan kerangka berpikir Adonis ketika melihat puisi untuk melihat seni dan budaya yang lain. Inti dari uraiannya adalah bahwa yang islami itu yang mengandung kebenaran Islam dalam setiap strukturnya. Di sini Islam mewarnai setiap bentuk-bentuk kebudayaan itu. Saya akan mengambil novel Ronggeng Dukuh Paruk. Karya memerlukan penafsiran yang lebih dalam dan jauh. Hal ini bergantung kepada pribadi yang menafsirkannya.
Kearifan-kearifan lokal?
*Beberapa seni budaya budaya lokal.
*Beberapa seni budaya nonlokal.
*Sastra sufi
*Sastra pesantren
*Sastra Indonesia
Keuniversalan Islam bisa mencelup (men-shibgoh) ruang mana saja, termasuk ruang remaja dan kehidupan popular secara umum. Saya haqqul yakin tentang itu. Dan tentang sastra interpretatif Islami, saya mengusulkan kepada Chavchay untuk ikut menggenapi karya Abdul Hadi, Kuntowijoyo, dll yang telah memiliki nilai-nilai religiusitas ke- Islaman tinggi bukannya menggenapi Ayu Utami, Djenar, dan Hudan Hidayat. Baru merumuskan Sastra Islam dari hati yang terdalam!
*Keenam, kritikus adalah yang menguasai dasar bahasa dan agama.
Dari uraian di atas kiranya cukup jelas seperti apa puisi yang dikehendaki oleh Islam. Dan hal ini menurut saya bisa dijadikan kerangka untuk memandang seni-seni lainnya. Misalnya film, drama, novel, musik, lukisan, juga karya-karya fotografi. Persolannya adalah bahwa karya seni atau budaya sangat kompleks. Banyak genre atau aliran-aliran yang melingkupi seni budaya tersebut. Hal ini setidaknya menimbulkan berbagai penafsiran. Dan tidak setiap kita mampu untuk melakukan penafsiran itu. Di sini diperlukan pengetahuan yang luas dan kecerdasan untuk mengungkap makna yang ada di balik karya itu. Karya bisa menjadi bermakna ketika bersentuhan dengan penikmatnya, tanpa itu karya dianggap tidak ada. Ada karya yang bisa ditafsirkan tidak dengan susah payah, dan sebaliknya ada karya yang rumit untuk ditafsirkan. Ada karya ada yang secara tegar berdiri dan menunjukkan jatidirinya dan ada karya yang baru bermakna jika ditafsir dengan kerja keras. Karena itu, sering terjadi perdebatan bahkan percekcokan yang diakibatkan oleh tafsir atau persepsi yang berbeda. Jadi, persoalannya adalah kita harus tahu teori-teori yang berhubungan dengan itu. Meski demikian pengetahuan ini pun tidak menjamin sepenuhnya untuk bisa lebih mudah dan mempunyai keseragaman dalam
menafsirkan. Sekarang mari kita gunakan kerangka berpikir Adonis ketika melihat puisi untuk melihat seni dan budaya yang lain. Inti dari uraiannya adalah bahwa yang islami itu yang mengandung kebenaran Islam dalam setiap strukturnya. Di sini Islam mewarnai setiap bentuk-bentuk kebudayaan itu. Saya akan mengambil novel Ronggeng Dukuh Paruk. Karya memerlukan penafsiran yang lebih dalam dan jauh. Hal ini bergantung kepada pribadi yang menafsirkannya.
Kearifan-kearifan lokal?
*Beberapa seni budaya budaya lokal.
*Beberapa seni budaya nonlokal.
*Sastra sufi
*Sastra pesantren
*Sastra Indonesia
Keuniversalan Islam bisa mencelup (men-shibgoh) ruang mana saja, termasuk ruang remaja dan kehidupan popular secara umum. Saya haqqul yakin tentang itu. Dan tentang sastra interpretatif Islami, saya mengusulkan kepada Chavchay untuk ikut menggenapi karya Abdul Hadi, Kuntowijoyo, dll yang telah memiliki nilai-nilai religiusitas ke- Islaman tinggi bukannya menggenapi Ayu Utami, Djenar, dan Hudan Hidayat. Baru merumuskan Sastra Islam dari hati yang terdalam!
0 komentar:
Posting Komentar